oleh Rhenald Kasali Saya sering
kasihan melihat anak-anak muda yang makin pintar tetapi hidupnya galau.
Penyebabnya beragam. Misalnya, karena hal sepele saja. Belum lagi tamat SMA,
mereka sudah dikejar-kejar orang tuanya, "Mau kuliah di mana? Swasta atau
negeri?" Bahkan, sampai menjelang lulus SMA sekalipun, masih banyak yang bingung
mau kuliah di mana dan jurusan apa? Jangan heran kalau banyak yang salah
jurusan.
Bahkan, sarjana nuklir pun
berkarir di bank, sarjana pertanian jadi wartawan, dan seterusnya. Susah-susah
kuliah di fakultas kedokteran, namun begitu lulus maunya jadi motivator. Karena
sejak awal sudah galau, setelah lulus tetap galau. Generasi ini pada gilrannya
bermetamorfosis menjadi generasi wacana. Jadi, karena dulu selalu galau,
setelah lulus hanya mampu berwacana. Ribut melulu. Paling jauh cuma bisa
berbuat heboh di media sosial, membuat meme, tetapi tidak berani bertindak.
Apalagi menggambil keputusan.
SUARANYA LANTANG
Indikatornya simpel. Kita bisa
dengan mudah menemukan mereka dimana-mana. Contohnya begini. Ada dahan yang
patah dan menghalangi jalan. Lalu lintas pun jadi macet. Apa yang dilakukan
generasi wacana? Dengan gadgetnya, mereka memotret dahan itu. Juga memotret
kemacetan yang terjadi. Lalu, mengunggahnya ke media sosial, tentu disertai dengan
komentar. Isinya kritik. "Dimana dinas pertamanan kita? Ada dahan yang
tumbang kok didiamkan!" Lalu, ketika hasil unggahannya dikomentari banyak
orang, senangnya bukan main.
Begitulah potret genertasi
wacana. Padahal, kalau mau membantu, diabisa menyingkirkan dahan tersebut dari
jalan. Tidak hanya berwacana. Begitulah kita juga saksikan sikap mereka
terhadap asap. Itu hanya satu contoh. Contoh lainnya ada dimana-mana. Sebagian
generasi wacana tersebut memasuki dunia kerja. Karir beberapa di antara mereka
meningkat dan menduduki posisi-posisi penting. Kalau diperusahaan swasta,
mereka itulah yang berteriak paling keras ketika kondisi ekonomi menjadi lebih
sulit. Misalnya, ketika pemerintah mengubah kebijakan atau ketika rupiah melemah/kembali
menguat seperti sekarang ini.
Kalau didunia politik, mereka
ributnya minta ampun. Persis sepertianggota DPR kita. Biasanya kritik sana,
kritik sini, tetapi pekerjaan utamanya, seperti membuat undang-undang, malah
tidak diurus. Kalau dilingkungan pemerintahan, mereka adalah orang-orang yang
sibuk mengamankan posisi dan cari adu selamat. Caranya? Adu pintar debat dan lihai
membangun argumentasi. Mereka sangat pintar kalau soal ini. Tetapi, nyalinya
langsung menciut ketika ditantang untuk mengambil keputusan.
Akibatnya, kita merasakan dampaknya. Penyerapan anggaran
akan terus sangat rendah dan kinerja perekonomian kita melambat. Kalau
pemerintah saja tidak punya nyali, apalagi kalangan swasta.
WE CHANGE
Kalau mau melihat masa depan
suatu negara, lihatlah generasi mudanya. Kalau generasi mudanya mudah galau,
hanya bisa berwacana, bisa ditebak kelak seperti apa nasib negaranya. Kata
banyak orang, karena galau dan sibuk berwacana, negara kita tertinggal sepuluh
tahun dari negara-negara lain.
Contoh gampang. Lihatlah jalan
tol kita. Kita membangun jalan tol sejak 1973. Lebih dahulu ketimbang Malaysia
dan Tiongkok. Tapi coba lihat berapa panjang jalan tol yang telah kita bangun.
Malaysia mulai membangun jalan
tol pada 1990. Namanya jalan tol Anyer Hitam. Panjangnya sekitar 10 kilometer.
Itu pun yang mengerjakan adalah BUMN kita, PT Hutama Karya. Kini panjang tol di
Malaysia sudah mencapai 3.000 kilometer.
Tiongkok pun baru membangun.
Jalan tol pertama pada 1990. Jalan tol pertama yang mereka bangun bernama Shenda,
menghubungkan dua kota, Shenyang dan Dalian. Kini Tiongkok sudah memiliki jalan
tol sepanjang 85 ribu kilometer. Anda tahu berapa panjang jalan tol yang sudah
kita bangun hingga saat ini? Belum sampai 900 kilometer! Begitulah kalau negara
lain sibuk membangun, kita sibuk berwacana lantaran tidak berani mengambil
keputusan.
Baiklah, saya juga tidak mau
disebut hanya bisa berwacana. Sebagai pendidik, yang saya lakukan adalah menempa
anak-anak muda kita agar mereka tidak hanya bisa berwacana, tetapi berani
mengambil keputusan. Karena itu, di Rumah Perubahan, saya menyiapkan program
boot champ, We-Change. Lewat program tersebut, saya akan merekrut banyak anak
muda di bawah usia 30 tahun. Syaratnya sederhana. Gigih, disiplin, berpikiran
terbuka, siap belajar, dan punya tekad yang kuat untuk memperbaiki masa depan.
Mereka akan saya jadikan mentee,
sedangkan saya mentornya. Saya akan mendidik untuk berani mengambil keputusan.
Saya akan mendidik mereka untuk menjadi driver, bukan passenger. Silakan cari
informasinya. Ayo anak-anak muda, siapa berminat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar