Senin, 06 Juni 2016

ZAHIR LUBIS

Aku telah melihat wujud dari rahasia-rahasia Allah, Aku telah menyadari hidupku sama sekali tidak bergantung pada hukum-hukum yang merugikan sebagaimana yang dirasakan banyak orang. Akupun menyadari satu-satunya kekuasaan dan hukum yang dapat dipercaya hanyalah hokum Allah. Ini merupakan rahasia yang sangat penting. Tidak ada kebaikan di dalam aturan-atuan dan praktik-praktik yang digunakan kebanyakan orang selama berabad-abad yang dianggap sebagai kebenaran yang pasti.Sesungguhnya, banyak orang-orang telah tertipu. 

Kebenaran adalah apa yang telah dinyatakan oleh Allah. Siapapun yang dapat menerima dengan iklash, lalu memikirkan berbagai peristiwa berdasarkan Al-Qura'an dan iman mendekatkan diri kepada Allah, Ia akan melihat dengan jelas rahasia-rahasia itu. " Hukum Allah tidak pernah merugikan hambanya ", hanya hukum yang dibuat hambanya itulah yang merugikan sesama manusia itu sendiri. Inilah negriku, hukum yang tidak mengikuti kehendak Allah.
(Zahir Lubis)

TENZIN GYATSO

Sosok Tenzin Gyatso, yang dikenal sebagai Dalai Lama ke-14, lahir di Amdo, Tibet, pd 6 Juli 1935.

Dia diangkat sebagai kepala negara Tibet pd 17 November 1950, di saat pendudukan China di daerah tersebut. Dunia mengenal Tenzin Gyatso sebagai sosok yang ramah dan cinta damai. Berikut adalah 7 kutipan inspiratif yang disampaikan oleh Tenzin Gyatso ttg kehidupan:



1. Happiness is not something ready made. It comes from your own actions.

* Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang sudah jadi. Itu berasal dari tindakan Anda sendiri.

2. We can never obtain peace in the outer world until we make peace with ourselves.

* Kita tak pernah bisa mendapatkan kedamaian di luar, sampai kita berdamai dengan diri kita sendiri.

3. In order to carry a positive action we must delevop here a positive vision.

* Dlm upaya membawa tindakan positif, kita harus membangun pandangan positif.

4. Our prime purpose in this life is to help others. And if you can't help them, at least don't hurt them.

* Tujuan utama kita dlm hidup adalah utk membantu org lain. Dan jika Anda tdk bisa membantu mrk, setidaknya jangan menyakiti mrk.

5. If you want others to be happy, practise compassion.

* Jika Anda ingin org lain bahagia, berlatihlah welas asih.

6. Love and compassion are necessities, not luxuries. Without them humanity can not survive.

* Cinta dan kasih sayang adalah kebutuhan, bukan kemewahan.

Tanpa mereka, manusia tdk dapat hidup.



7. Old friends pass away, new friends appear. It is just like the days.

An old day passes, a new day arrives. The important thing is to make it meaningful: a meaningful friend - or a meaningful day.

* Teman2 lama pergi, teman2 baru datang. Hal ini sama seperti hari. Hari yang lama berlalu, hari baru tiba. Yang penting adalah utk membuatnya berarti: seorang teman yang berarti -

atau sebuah hari yang berarti.

GENARASI SEBELUMNYA

Ada seorang operations manager dari sebuah client kantor gue – yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras. Kita  sebagai vendor yang baik, meminta maaf. Dia bilang, “Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh saya, beras sushi.” “Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask. “Iya, orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita makan.” This may be simple. But this, blew my mind. Dan setelah gue menjadi orang tua, di sini lah gue lihat banyak orang tua mulai mengambil langka yang tidak disadari, berdampak.

“Saya waktu kecil, miskin. Saya pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.” “Waktu kecil, saya makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.” “Waktu kecil, saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke Inggris.”  We experienced the worst and therefore we tend to give the best. The question is, is the best…is what our children need? Really? Orang sukses itu menjadi sukss karena (1) dididik dengan benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin (2) dididik oleh kesulitan yang dia hadapi.

Kita akui ada anak orang kaya yang tetap jempolan attitudenya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan orang sukses juga dulunya sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan) itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.

Pertanyaannya, jika kita ingin mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan? Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu? Karena dengan menghilangkan kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya banyak.

Generasi Berikutnya

Apa yang terjadi dengan dari hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini yang terjadi:Anak dari teman ibu gue terbiasa makan beras impor thailand. Di 98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor. Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan. Ada anak dari teman yang terbiasa makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah. Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, gak ada air panas.

Gue tidak mencibir mereka. Apa adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah nurture. Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan gue jadi mentor seseorang (saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak nyaman di posisi ini.” Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua gue mendengar mentee gue ngomong ini, gue mulai masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”
“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we have and deal with it. Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu yang ‘nice to have’ dan bukan ‘must have’.” What to Do?
Gue menyukai cara Sultan Jogja mendidik anak-anaknya. Gue pernah dengar bahwa di saat batita, anak sultan dikirim untuk hiidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar,dia kembali ke istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat hidup niminum.

Gue pun memiliki syarat-syarat hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, gue berubah total dan gue kikis hilang itu semua. Karena gue tidak ingin anak-anak gue memiliki syarat hidup yang banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa gue pun tidak boleh memiliki syarat hidup banyak. Gue mengajak mereka naik kopaja atau transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik angkutan umum itu, rendah. Gue membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu suatu saat nanti mereka harus terus-terusan.

Gue mematikan AC saat mereka tidur – siapa tahu mereka suatu saat cannot afford air conditioning. Gue tidak menginstall air panas karena gue ingin anak-anak gue baik-baik saja jika suatu saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin. Gue melarang mereka main tablet karena gue ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu. Gue melarang mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu gak pernah penting, dan gak akan penting. 

Kita pergi ke mall memakai kopaja. And we have fun ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain. Gue tidak membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead gue makan sama anak-anak gue. Siapa tahu suatu saat, that is all they can afford. Agak keras. And we like it. We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes of things. Not the price of things.

Nasi kemarin yang masih perfectly safe to eat, masih punya value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama, yaitu mengantar kita ke sebuah tempat. AC atau gak AC memberikan balue yang sama. A good night sleep. Kenapa semua ini penting? Kita harus ingat bahwa generasi bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3 milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka. 

One needs to be a tough person to be able to compete with 12 billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.

Minggu, 05 Juni 2016

GENERASI WACANA




oleh Rhenald Kasali Saya sering kasihan melihat anak-anak muda yang makin pintar tetapi hidupnya galau. Penyebabnya beragam. Misalnya, karena hal sepele saja. Belum lagi tamat SMA, mereka sudah dikejar-kejar orang tuanya, "Mau kuliah di mana? Swasta atau negeri?" Bahkan, sampai menjelang lulus SMA sekalipun, masih banyak yang bingung mau kuliah di mana dan jurusan apa? Jangan heran kalau banyak yang salah jurusan.

Bahkan, sarjana nuklir pun berkarir di bank, sarjana pertanian jadi wartawan, dan seterusnya. Susah-susah kuliah di fakultas kedokteran, namun begitu lulus maunya jadi motivator. Karena sejak awal sudah galau, setelah lulus tetap galau. Generasi ini pada gilrannya bermetamorfosis menjadi generasi wacana. Jadi, karena dulu selalu galau, setelah lulus hanya mampu berwacana. Ribut melulu. Paling jauh cuma bisa berbuat heboh di media sosial, membuat meme, tetapi tidak berani bertindak. Apalagi menggambil keputusan.
SUARANYA LANTANG

Indikatornya simpel. Kita bisa dengan mudah menemukan mereka dimana-mana. Contohnya begini. Ada dahan yang patah dan menghalangi jalan. Lalu lintas pun jadi macet. Apa yang dilakukan generasi wacana? Dengan gadgetnya, mereka memotret dahan itu. Juga memotret kemacetan yang terjadi. Lalu, mengunggahnya ke media sosial, tentu disertai dengan komentar. Isinya kritik. "Dimana dinas pertamanan kita? Ada dahan yang tumbang kok didiamkan!" Lalu, ketika hasil unggahannya dikomentari banyak orang, senangnya bukan main.

Begitulah potret genertasi wacana. Padahal, kalau mau membantu, diabisa menyingkirkan dahan tersebut dari jalan. Tidak hanya berwacana. Begitulah kita juga saksikan sikap mereka terhadap asap. Itu hanya satu contoh. Contoh lainnya ada dimana-mana. Sebagian generasi wacana tersebut memasuki dunia kerja. Karir beberapa di antara mereka meningkat dan menduduki posisi-posisi penting. Kalau diperusahaan swasta, mereka itulah yang berteriak paling keras ketika kondisi ekonomi menjadi lebih sulit. Misalnya, ketika pemerintah mengubah kebijakan atau ketika rupiah melemah/kembali menguat seperti sekarang ini.

Kalau didunia politik, mereka ributnya minta ampun. Persis sepertianggota DPR kita. Biasanya kritik sana, kritik sini, tetapi pekerjaan utamanya, seperti membuat undang-undang, malah tidak diurus. Kalau dilingkungan pemerintahan, mereka adalah orang-orang yang sibuk mengamankan posisi dan cari adu selamat. Caranya? Adu pintar debat dan lihai membangun argumentasi. Mereka sangat pintar kalau soal ini. Tetapi, nyalinya langsung menciut ketika ditantang untuk mengambil keputusan.

Akibatnya, kita merasakan dampaknya. Penyerapan anggaran akan terus sangat rendah dan kinerja perekonomian kita melambat. Kalau pemerintah saja tidak punya nyali, apalagi kalangan swasta.
WE CHANGE
Kalau mau melihat masa depan suatu negara, lihatlah generasi mudanya. Kalau generasi mudanya mudah galau, hanya bisa berwacana, bisa ditebak kelak seperti apa nasib negaranya. Kata banyak orang, karena galau dan sibuk berwacana, negara kita tertinggal sepuluh tahun dari negara-negara lain.

Contoh gampang. Lihatlah jalan tol kita. Kita membangun jalan tol sejak 1973. Lebih dahulu ketimbang Malaysia dan Tiongkok. Tapi coba lihat berapa panjang jalan tol yang telah kita bangun.

Malaysia mulai membangun jalan tol pada 1990. Namanya jalan tol Anyer Hitam. Panjangnya sekitar 10 kilometer. Itu pun yang mengerjakan adalah BUMN kita, PT Hutama Karya. Kini panjang tol di Malaysia sudah mencapai 3.000 kilometer.

Tiongkok pun baru membangun. Jalan tol pertama pada 1990. Jalan tol pertama yang mereka bangun bernama Shenda, menghubungkan dua kota, Shenyang dan Dalian. Kini Tiongkok sudah memiliki jalan tol sepanjang 85 ribu kilometer. Anda tahu berapa panjang jalan tol yang sudah kita bangun hingga saat ini? Belum sampai 900 kilometer! Begitulah kalau negara lain sibuk membangun, kita sibuk berwacana lantaran tidak berani mengambil keputusan.

Baiklah, saya juga tidak mau disebut hanya bisa berwacana. Sebagai pendidik, yang saya lakukan adalah menempa anak-anak muda kita agar mereka tidak hanya bisa berwacana, tetapi berani mengambil keputusan. Karena itu, di Rumah Perubahan, saya menyiapkan program boot champ, We-Change. Lewat program tersebut, saya akan merekrut banyak anak muda di bawah usia 30 tahun. Syaratnya sederhana. Gigih, disiplin, berpikiran terbuka, siap belajar, dan punya tekad yang kuat untuk memperbaiki masa depan.

Mereka akan saya jadikan mentee, sedangkan saya mentornya. Saya akan mendidik untuk berani mengambil keputusan. Saya akan mendidik mereka untuk menjadi driver, bukan passenger. Silakan cari informasinya. Ayo anak-anak muda, siapa berminat?