Ada seorang operations manager dari sebuah client
kantor gue – yang cool banget. Kita undang dia makan siang dan nasinya keras.
Kita sebagai vendor yang baik, meminta
maaf. Dia bilang, “Gak papa. Justru saya suka nasi keras. Gak suka tuh saya,
beras sushi.” “Kok sukanya nasi yang keras Pak?” I cannot help but to ask. “Iya,
orang tua saya ngajarin jangan pernah buang makanan. Nasi kemarin juga kita
makan.” This may be simple. But this, blew my mind. Dan setelah gue menjadi
orang tua, di sini lah gue lihat banyak orang tua mulai mengambil langka yang
tidak disadari, berdampak.
“Saya waktu kecil, miskin. Saya
pastikan anak-anak saya mendapatkan yang terbaik, termahal.” “Waktu kecil, saya
makan aja susah. Saya pastikan mereka itu sekarang makan enak.” “Waktu kecil,
saya belajar ditemani lilin dan 2 buku. Sekarang anak saya, saya sekolahkan ke
Inggris.” We experienced the worst and
therefore we tend to give the best. The question is, is the best…is what our
children need? Really? Orang sukses itu menjadi sukss karena (1) dididik dengan
benar, terlepas dari dari apakah dia kaya atau miskin (2) dididik oleh kesulitan
yang dia hadapi.
Kita akui ada anak orang kaya
yang tetap jempolan attitudenya dan perjuangannya. Tapi kita lihat kebanyakan
orang sukses juga dulunya sulit. Kesulitan (dalam beberapa kasus, kemiskinan)
itu yang menjadi drive orang-orang untuk menjadi sukses. Ini adalah resep yang
nyata. Kesulitan yang orang-orang sukses ini hadapi adalah ladang ujian di mana
mereka menempa diri mereka menjadi orang sukses.
Pertanyaannya, jika kita ingin
mencetak anak-anak yang bermental baja, kenapa kita justru memberikan semua kemudahan?
Kenapa justru kita hilangkan semua kesulitan itu? Karena dengan menghilangkan
kesulitan-kesulitan itu, justru kita menciptakan generasi yang syarat hidupnya
banyak.
Generasi Berikutnya
Apa yang terjadi dengan dari
hasil thinking frame ‘dulu saya susah, saya tidak ingin anak saya susah’? Ini
yang terjadi:Anak dari teman ibu gue terbiasa makan beras impor thailand. Di
98, kita terkena krisis dan orang tuanya tdiak lagi mampu beli beras impor.
Yang terjadi adalah, anaknya gak bisa makan. Ada anak dari teman yang terbiasa
makan es krim haagen dasz, ketika pertama kali makan es krim lokal, dia muntah.
Ada cucu yang ngamuk di rumah neneknya karena di rumah nenek, gak ada air
panas.
Gue tidak mencibir mereka. Apa
adanya seorang manusia itu terjadi dari nature dan nurture. Semua ini, adalah
nurture. Bahkan di kantor pun sama. Di kantor kebetulan gue jadi mentor seseorang
(saat ini). Dalam sebuah kesempatan, dia pernah berkata “Duh, gak nyaman di
posisi ini.” Di lain kesempatan, “Sayang ya, si X resign, padahal dia membuat
saya nyaman di kantor sini.”
Pada kali kedua gue mendengar mentee gue ngomong ini, gue
mulai masuk “Kamu sadar gak, kamu udah 2 kali menggarisbawahi bahwa kenyamanan dalam
kerja itu, penting bagi kamu.”
“…”
“Emang sih idealnya nyaman. Tapi sayangnya, this is life. We
don’t get to pick ideal situations. Sometimes we need to settle with what we
have and deal with it. Tentang kenyamanan, coba jadikan itu sebagai sesuatu
yang ‘nice to have’ dan bukan ‘must have’.” What to Do?
Gue menyukai cara Sultan Jogja mendidik
anak-anaknya. Gue pernah dengar bahwa di saat batita, anak sultan dikirim untuk
hiidup di desa. Makan susah, main tanah, mandi di sumur. Intinya, meski dia
anak sultan, dia tidak tahu bahwa dia anak sultan dan dia merasakan standar hidup
yang rendah – dan merasa cukup dengan itu. Setelah agak besar,dia kembali ke
istana. Dampaknya, semua Sultan, bersikap merakyat. Dia makan steak, tapi dia
tahu bahwa steak yang dia makan adalah sebuah kemewahan. Bukan sebuah syarat
hidup niminum.
Gue pun memiliki syarat-syarat
hidup. Semenjak menjadi seorang bapak, gue berubah total dan gue kikis hilang
itu semua. Karena gue tidak ingin anak-anak gue memiliki syarat hidup yang
banyak. Dan satu-satunya cara memastikan itu terjadi adalah bahwa gue pun tidak
boleh memiliki syarat hidup banyak. Gue mengajak mereka naik kopaja atau
transjakarta setiap hari ke sekolah, sebelum mereka merasakan bahwa naik
angkutan umum itu, rendah. Gue membiarkan mereka tidur di lantai. Siapa tahu
suatu saat nanti mereka harus terus-terusan.
Gue mematikan AC saat mereka
tidur – siapa tahu mereka suatu saat cannot afford air conditioning. Gue tidak
menginstall air panas karena gue ingin anak-anak gue baik-baik saja jika suatu
saat nanti mereka tiap hari harus mandi air dingin. Gue melarang mereka main tablet
karena gue ingin mereka tidak tergantung dengan kemewahan itu. Gue melarang
mereka menilai teman dari merk mobil mereka karena merk mobil itu gak pernah
penting, dan gak akan penting.
Kita pergi ke mall memakai
kopaja. And we have fun ketawa-ketawa, seperti jutaan orang lain. Gue tidak
membuang nasi kemarin yang memang masih bagus. Instead gue makan sama anak-anak
gue. Siapa tahu suatu saat, that is all they can afford. Agak keras. And we
like it. We teach them to pursue happiness so that they learn the value and purposes
of things. Not the price of things.
Nasi kemarin yang masih perfectly
safe to eat, masih punya value. Kopaja dan mercy memiliki purpose yang sama,
yaitu mengantar kita ke sebuah tempat. AC atau gak AC memberikan balue yang
sama. A good night sleep. Kenapa semua ini penting? Kita
harus ingat bahwa generasi bapak kita adalah generasi yang bersaing dengan 3
milyar orang. Mereka bisa mengumpulkan kekayaan dan membeli kemudahan untuk
generasi kita. Kita harus bersaing dengan 7 milyar orang. Anak kita nanti
mungkin harus bersaing dengan 12 milyar orang di generasi mereka.
One needs to be a tough person to be able to compete with 12
billion people. Dan percaya lah, memiliki syarat hidup yang banyak, tidak akan membantu
anak-anak kita bersaing dengan 12 milyar orang itu.