Selasa, 01 Maret 2016

MEMBAKAR UANG DEMI USER

Bila anda sering berbelanja ke situs belanja online, akan sering ditemui barang dengan harga jauh lebih murah dibanding pasaran. Atau sering juga ada program promo yang menjual barang dengan diskon sampai 90%, bahkan 99%. Harga2 yang sulit diterima akal. Kita yang awam ini akan berpikir harga bisa murah karena banyak biaya operasional yang dipangkas, atau sebuah brand produk sedang promosi di situs itu. Sebagian kecil benar, tapi sebagian besar salah. Yang terjadi adalah pengelola toko online memberi subsidi kepada konsumen sejumlah selisih harga. Bila distributor memberi harga Rp 1 juta kepada toko, dan toko menjual seharga Rp 500 ribu kepada konsumen, maka toko nombok Rp 500 ribu. Kalau ada 100 pembelian, maka toko nombok Rp50 juta. Sebagai orang yang sering berpergian, saya selalu gunakan aplikasi pemesanan tiket pesawat dan hotel. Sumpah, ini bukan iklan, tapi namanya Traveloka. Saya pernah protes kepada pengelola hotel yang rajin saya inapi mengapa ia tak bisa memberi saya harga semurah Traveloka kalau saya datang langsung. Ia jawab, harga kamar yang ia berikan ke Traveloka sama dengan harga kamar bila saya dtg langsung. Kalau harga Traveloka lebih murah, itu karena disubsidi atau ditomboki oleh Traveloka. Lha, jualan kok nombok?

Kalau mau yang lebih aneh lagi, lihat Gojek. Mereka kabarnya telah mendapatkan investasi sedikitnya Rp 200-600 miliar dr Sequoia Capital di pertengahan tahun. Sampai sekarang Gojek masih rugi. Dalam sebuah pertemuan pada Oktober lalu, Nadiem mengatakan, "Kami memang belum untung. Kalau kami untung justru kami dimarahi investor." Investor kok tidak mau untung? Tidak masuk akal, kan? Kalau mau yang lebih tidak masuk akal lagi, lihatlah Whatsapp. Messanger ini tidak menampilkan iklan, pun gratis tahun pertama. Biaya berlangganan di tahun berikutnya hanya $1/tahun. Itu pun bisa 'diakali' supaya gratis terus. Tapi tahun lalu Facebook membeli Whatsapp Rp 222 triliun! Secara keuangan, perusahaan ini tidak pernah untung, tidak beriklan, tapi dibeli ratusan triliun.

Bisnis konvensional sulit memahami ini. Selama ini performace bisnis hanya diukur lewat angka di buku keuangan perusahaan. Kalau duitnya minus, berarti jelek. Namun dalam bisnis digital, data adalah mata uang baru. Pintu masuknya melalui jumlah user. Kalau kita sudah mendapatkan user, datanya akan siap untuk dikapitalisasi untuk apapun.

Dengan investasi Rp 1,2 triliun, Tokopedia bisa menempatkan iklannya di berbagai billboard Ibukota. Dengan modal Rp 6,5 triliun, Mataharimall sanggup memberi diskon barang sampai 99%. Dengan jumlah user yang banyak, valuasi atau nilai produk perusahaan digital otomatis akan naik.

Whatsapp ketika baru dirilis tahun 2009 oleh Ian Koum hanya bermodal investasi $250 (iya, hanya $250). Dua thn kemudian, Sequoia Capital menyuntik dana $80 juta. 2013, Sequoia menambah lg investasi $50 juta ke Whatsapp. Sampai 2014 ia dibeli Facebook $19 miliar. Bayangkan betapa tajirnya pemilik saham Whatsapp seperti Koum dan Sequoia. Facebook 'membeli' setiap user Whatsapp seharga $42 / user.Bulan lalu saya bertemu dgn COO Kompasiana, Pepih Nugraha, di Jkt. Beliau bertanya, "Kalau menurut hitungan Mas Hilman, berapa nilai Kompasiana?" Anda akan terkejut dengan jawabannya

By: Hilman Fajrian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar