Bila anda sering berbelanja ke
situs belanja online, akan sering ditemui barang dengan harga jauh lebih murah
dibanding pasaran. Atau sering juga ada program promo yang menjual barang
dengan diskon sampai 90%, bahkan 99%. Harga2 yang sulit diterima akal. Kita
yang awam ini akan berpikir harga bisa murah karena banyak biaya operasional
yang dipangkas, atau sebuah brand produk sedang promosi di situs itu. Sebagian
kecil benar, tapi sebagian besar salah. Yang terjadi adalah pengelola toko
online memberi subsidi kepada konsumen sejumlah selisih harga. Bila distributor
memberi harga Rp 1 juta kepada toko, dan toko menjual seharga Rp 500 ribu
kepada konsumen, maka toko nombok Rp 500 ribu. Kalau ada 100 pembelian, maka
toko nombok Rp50 juta. Sebagai orang yang sering berpergian, saya selalu
gunakan aplikasi pemesanan tiket pesawat dan hotel. Sumpah, ini bukan iklan,
tapi namanya Traveloka. Saya pernah protes kepada pengelola hotel yang rajin
saya inapi mengapa ia tak bisa memberi saya harga semurah Traveloka kalau saya
datang langsung. Ia jawab, harga kamar yang ia berikan ke Traveloka sama dengan
harga kamar bila saya dtg langsung. Kalau harga Traveloka lebih murah, itu
karena disubsidi atau ditomboki oleh Traveloka. Lha, jualan kok nombok?
Kalau mau yang lebih aneh lagi,
lihat Gojek. Mereka kabarnya telah mendapatkan investasi sedikitnya Rp 200-600
miliar dr Sequoia Capital di pertengahan tahun. Sampai sekarang Gojek masih
rugi. Dalam sebuah pertemuan pada Oktober lalu, Nadiem mengatakan, "Kami
memang belum untung. Kalau kami untung justru kami dimarahi investor."
Investor kok tidak mau untung? Tidak masuk akal, kan? Kalau mau yang lebih
tidak masuk akal lagi, lihatlah Whatsapp. Messanger ini tidak menampilkan
iklan, pun gratis tahun pertama. Biaya berlangganan di tahun berikutnya hanya
$1/tahun. Itu pun bisa 'diakali' supaya gratis terus. Tapi tahun lalu Facebook
membeli Whatsapp Rp 222 triliun! Secara keuangan, perusahaan ini tidak pernah
untung, tidak beriklan, tapi dibeli ratusan triliun.
Bisnis konvensional sulit
memahami ini. Selama ini performace bisnis hanya diukur lewat angka di buku keuangan
perusahaan. Kalau duitnya minus, berarti jelek. Namun dalam bisnis digital,
data adalah mata uang baru. Pintu masuknya melalui jumlah user. Kalau kita
sudah mendapatkan user, datanya akan siap untuk dikapitalisasi untuk apapun.
Dengan investasi Rp 1,2 triliun,
Tokopedia bisa menempatkan iklannya di berbagai billboard Ibukota. Dengan modal
Rp 6,5 triliun, Mataharimall sanggup memberi diskon barang sampai 99%. Dengan
jumlah user yang banyak, valuasi atau nilai produk perusahaan digital otomatis
akan naik.
Whatsapp ketika baru dirilis
tahun 2009 oleh Ian Koum hanya bermodal investasi $250 (iya, hanya $250). Dua
thn kemudian, Sequoia Capital menyuntik dana $80 juta. 2013, Sequoia menambah
lg investasi $50 juta ke Whatsapp. Sampai 2014 ia dibeli Facebook $19 miliar.
Bayangkan betapa tajirnya pemilik saham Whatsapp seperti Koum dan Sequoia.
Facebook 'membeli' setiap user Whatsapp seharga $42 / user.Bulan lalu saya
bertemu dgn COO Kompasiana, Pepih Nugraha, di Jkt. Beliau bertanya, "Kalau
menurut hitungan Mas Hilman, berapa nilai Kompasiana?" Anda akan terkejut
dengan jawabannya
By: Hilman Fajrian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar